Pinokirno
Perkenalkan namaku Pinokirno. Aku
seorang pekerja tambang yang tinggal di Desa Hidung Mancung. Desaku ini
terkenal dengan kebohongannya, jika salah satu penduduk desa ada yang berbohong
maka hidungnya akan memanjang hingga disebutlah Desa Hidung Mancung. Tetapi,
hanya aku seorang yang memiliki hidung normal bahkan tidak memanjang sedikit
pun. Saat aku bekerja, terkadang aku terheran - heran ketika aku sedang
menambang berlian semua orang melihatku dan berkata,
“Mengapa kamu bekerja seperti kami
ini? Dengan wajahmu yang rupawan serta hidungmu yang sama sekali tidak mancung
atau memanjang seperti kami, kamu tidak pantas untuk bekerja disini kamu lebih
pantas bekerja di sebuah gedung besar di ibu kota sana”.
Aku hanya tertawa kecil dan
tersenyum, inilah hobiku inilah yang dilakukan keluargaku sejak dahulu. Aku
memang ingin bekerja dengan jas hitam serta kemeja putih di sebuah gedung besar
di ibu kota, tapi apa daya aku tidak bisa meninggalkan keluargaku disini, di
kota kelahiranku. Dan aku juga telah menjadi tulang punggung keluarga setelah
Bapakku pergi merantau ke ibu kota untuk mencari nafkah buat keluargaku.
Pada suatu hari di sebuah tambang
tua, aku melihat sekumpulan orang yang sepertinya sedang merencanakan sesuatu.
Tidak lama kemudian, datanglah mobil hitam yang mengkilat di setiap sisinya.
Terlihat seseorang turun dari mobil itu dan menembaki seseorang di antara
sekeumpulan orang tadi, yang kulihat ternyata dia adalah Krisna. Krisna adalah
kerabatku sejak SMA. Dia sangat pemberani dan memiliki sifat pemberontak. Jika
ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Krisna, dia pasti berdiri dan mengutarakan
apa yang ada di pikirannya tanpa berfikir apa yang akan terjadi nanti. Ketika
aku sedang melamun dan pikiranku menjadi tidak fokus akibat kejadian yang aku
lihat tadi, salah satu dari sekumpulan orang tadi menghampiriku dan berkata
dengan tegasnya,
“Apapun yang kamu lihat tadi,
jangan sampai ada yang mengetahuinya. Jika ada satu orang pun yang tahu tentang
semua ini, aku akan mencarimu dan membuat hidupmu tidak akan tentram!”,
“Bahkan aku bisa membuatmu mati di
tempat!”, tegasnya dia ucapkan lagi.
Dengan perasaan bingung dan risau,
aku putuskan untuk melaporkan apa yang aku lihat tadi ke pihak yang berwajib.
Setibanya di kantor polisi, aku menceritakan semua yang aku lihat, dari awal
aku datang ke tempat kejadian di dekat tambang dimana aku bekerja sampai di saat
salah satu dari mereka menghampiriku.
“Begitu Pak kronologi cerita
penembakan kerabat saya, Krisna. Semoga kasus ini akan segera selesai ya, Pak”,
ucapku kepada Pak Polisi yang ku kutehai bernama Hendrawan.
“Tenang saja Pak, kami akan
memproses masalah ini secepatnya, agar saudara Bapak Pinokirno ini dapat hidup
tentram dan tidak terbayang - bayangi dengan kasus ini”,
“Oke, terima kasih Pak”.
Setelah empat hari tidak ada kabar
dari kepolisian, akhirnya handphone berdering.
Langsung saja aku angkat handphoneku
dengan harapan bahwa yang menelfon dari kepolisian yang ku datangi beberapa
hari lalu. Ternyata memang benar, yang menelfonku adalah Pak Hendrawan.
“Halo, selamat siang. Saya dari
kepolisian ingin menyampaikan kelanjutan kasus yang Bapak sampaikan kepada kami
beberapa hari lalu. Bisakah Bapak datang kemari untuk kami jelaskan informasi
lebih lanjut?”,
“Selamat siang Pak. Saya akan
segera kesana”.
Dengan berpamitan kepada orang
tuaku dan meminta izin untuk tidak bekerja hari ini, orang tuaku mengiyakan dan
mendoakanku semoga kasus ini cepat selesai. Jarak yang ku tempuh cukup jauh,
tapi karena niatku sudah bulat untuk menyelesaikan kasus ini akan aku tempuh
jarak tersebut walau terik matahari di tengah siang.
“Mau kemana Mas Pinokirno ini?”,
Tanya salah satu dari pekerja tambang yang lewat di tengah jalan.
“Aku mau ke kantor polisi”,
“Loh, memangnya ada apa Mas?”,
“Apakah Mas Pinokirno melakukan kesalahan dan harus masuk jeruji besi?”,
“Tidak kok Mas, saya hanya
dipanggil sebagai saksi pembunuhan Krisna beberapa hari lalu”,
“Oh kalau begitu, hati hati di
jalan ya Mas Pinokirno, semoga kasus pembunuhan Mas Krisna juga cepat selesai”,
“Aamin Mas aamin”.
Ku tempuh jarak sekitar satu
kilometer dari rumah ke kantor polisi yang ku datangi beberapa hari lalu.
Setibanya di kantor polisi, aku disuruh menunggu beberapa menit, karena
banyaknya orang yang melaporkan kasus – kasur ke kantor polisi ini.
“Pak Pinokirno, silahkan masuk!”,
dipanggilnya namaku oleh salah satu polisi.
Masuklah saya ke ruangan Pak
Hendrawan.
“Silahkan duduk, Pak Pinokirno”,
“Ada apa Pak menelfon saya? Apakah
sudah ada kabar tentang pembunuhan kerabat saya?”,
“Saya memanggil saudara Bapak
Pinokirno ini untuk menyampaikan bahwa kami berhasil menangkap pelaku
pembunuhan yang mengakibatkan tewasnya kerabat Bapak, Krisna”,
“Alhamdulillah”,
“Tapi, disaat proses penangkapan
tersangka, ada salah satu tersangka yang kabur. Dan dia masih menjadi buronan
polisi. Kami sudah berusaha maksimal, tapi Bapak tenang saja, secepatnya saya
akan menangkap tersangka terakhir yang kabur itu”,
“Waduh, jujur saya masih belum
bisa tidur nyenyak Pak kalau kejadiannya seperti ini, tetatpi apa boleh buat.
Terima kasih atas bantuan Bapak”,
“Sama - sama Pak Pinokirno”.
Aku kembali ke rumah dengan
perasaan yang campur aduk. Aku takut jika hidupku diganggu dan mungkin
keluargaku akan dibuat hidupnya tidak tentram. Benar saja, ketika aku
menginjakan kaki di teras rumahku, ku dengar suara teriakan adik bungsuku.
Segera aku lari ke dalam rumah, tetapi tiba tiba aku di tarik dari belakang
oleh salah satu pekerja tambang.
“Cepat kabur dari sini, mereka
semua mencarimu mereka ingin membunuhmu!”,
“Lalu aku harus kabur kemana?
Bagaimana nasib keluargaku?”,
“Pergilah ke ibu kota! Serahkan
saja keluargamu padaku, aku berjanji akan mengurus keluargamu disini!”,
“Baiklah kalau memang begitu, aku
percaya padamu. Terima kasih Mas. Jaga keluargaku baik baik”.
Pergilah aku ke ibu kota. Aku
membeli tiket bis lalu ku lanjutkan membeli tiket kereta api dengan tujuan ke
ibu kota. Aku duduk di bangku paling belakang. Dengan perasaan hancur dan
khawatir, memikirkan nasib keluargaku saat aku tinggal ke ibu kota. Suara
teriakan adik bungsuku masih membisiki telingaku. Ku coba menutup mata sejenak
untuk melupakan kejadian yang baru saja terjadi padaku, tetapi selalu saja bayang
- bayang keluargaku datang ke dalam pikiranku.
Untuk pertama kalinya, akhirnya
aku menginjakan kaki di ibu kota. Seperti bayi yang baru lahir, aku merasa aku
tidak tahu apa - apa tentang ibu kota, dimana aku akan tinggal, dimana aku akan
makan dan minum, dimana aku akan mandi. Sungguh perasaan bingung ini
menyelimuti diriku.
Ku telusuri jalan menuju alun -
alun kota, yang ku ketahui letaknya tidak jauh dari stasiun ibu kota. Disaat
aku sedang menyebrang jalan, ku lihat mobil hitam yang pernah ku lihat
sebelumnya. Dan akhirnya aku sadar jika mobil itu adalah mobil yang dimiliki
oleh salah satu dari sekumpulan orang yang membunuh Krisna. Mobil itu makin
dekat dan dekat, tiba - tiba *DUGGGGG*. Mobil itu menabrakku hingga ku
terpental beberapa meter dari tempat penyebrangan. Dengan menahan sakit di
sekujur tubuhku, kulihat ada orang turun dan memukuliku hingga pingsan.
Disaat aku terbangun setelah aku
pingsan ditabrak dan dipukuli oleh pembunuh Krisna, aku kebingungan. Karena aku
berada di sebuah toko kayu tua. Badanku terasa sakit semua dan seperti ada yang
mengganjal di seluruh tubuhku. Saat aku lihat, ternyata tangan, kaki dan semua
tulangku yang patah digantikan dengan sebuah kayu.
“Kamu sudah sadar nak?”,
“Aku berada dimana ini? Dan
mengapa tubuhku ini dipenuhi dengan kayu-kayu? Lalu kamu siapa kakek tua?
Apakah kamu yang membawaku ke toko kayu ini? Kemana barang-barangku? Kemana
uang-uangku?”,
“Sebelumnya perkenalkan dahulu.
Nama saya Zapato. Saya seorang tukang kayu di Desa Bukanbogor. Kamu sekarang
berada di rumah saya, di toko kayu. Saya yang menyelamatkan hidupmu, nak. Jika
kamu tidak saya operasi dengan kayu kayu ini, kamu tidak akan bisa bergerak
selayaknya manusia biasa lagi, karena tulangmu patah dan retak. Dan lebih baik
kamu berisitirahat saja, jangan banyak bergerak dan berbicara dulu. Kondisi
kamu masih sangat lemah”,
“Sungguh saya berterima kasih
padamu Kakek Zapato. Kamu telah menyelamatkan saya, menyelamatkan nyawa saya.
Maaf tadi saya berbiacar tidak sopan. Saya masih tidak percaya dengan apa yang
terjadi dengan saya”,
“Simpan saja terima kasihmu ini
nak. Sekarang tidurlah. Aku akan membuatkanmu sup agar badanmu terasa hangat”.
Lalu Kakek Zapato pergi ke dapur
dan membuatkanku sup. Ingin sekali membantu kakek tua itu membuat sup, tapi apa
daya tubuhku ini menolaknya. Bangun untuk duduk saja aku tidak bisa. Ku
lanjutkan saja tidurku sejenak. Tidak lama kemudian aku di bangunkan oleh Kakek
Zapato karena supnya sudah jadi.
“Makan dulu nak supnya. Selagi
masih hangat”,
“Terima kasih Kek”.
Sudah berbulan-bulan aku tinggal
di rumah Kakek Zapato. Aku dirawat, dituntun untuk berjalan, diajarkan untuk
menggerakkan semua kayu-kayu yang ada di tubuhku ini, bahkan aku akan di
kuliahkan di perguruan tinggi yang cukup terkenal di ibu kota. Aku bingung
bagaimana caranya untuk mengungkapkan rasa terima kasihku, karena tidak mungin
jika ku ucapkan hanya dengan kata kata saja. Dia banyak berjasa dalam hidupku.
Pagi-pagi buta, aku sudah
dibangunkan oleh Kakek untuk sarapan dan kuliah pertamaku jam 7 pagi. Aku
berangkat dengan mengendarai sepeda Kakek yang khusus dia belikan untukku
kuliah. Tidak lupa Kakek memberikan aku sejumlah uang untuk membeli buku. Ini
hari pertama aku kuliah, aku harus serius belajar agar dapat membanggakan Kakek
Zapato.
Sesampainya di perguruan tinggi,
segera aku pergi ke ruangan administrasi untuk membeli buku. Tetapi tiba-tiba
ada yang menepuk pundakku dari belakang.
“Hey, kamu anak baru ya disini?
Kenalkan namaku Ramadhanti. Biasanya sih aku dipanggil Dhanti. Kalau boleh tau,
nama kamu siapa ya?”,
“Ehhh, haai. Nama yang bagus.
Namaku Pinokirno. Di desa tempatku tinggal sih aku sering dipanggil Kirno.”,
ucapku terkaget saat ada yang menepuk pundakku.
“Terima kasih ya. Bolehkah aku
memanggilmu Pino saja? Biar beda aja gitu sama yang lain”,
“Sama=sama. Gapapa kok. Terserah
kamu aja mau manngil aku apa”.
Setelah berkenalan dengan Dhanti,
ku lanjutkan untuk membeli buku di ruangan administrasi. Ternyata bukunya cukup
banyak dan aku begitu kerepotan untuk membawanya ke kelasku. Ternyata ada
Dhanti di belakangku dan menawarkan bantuan untuk membawakan buku-bukuku.
“Perlu bantuan, Pino? Sini berikan
sebagian bukumu agar kamu membawa semua buku itu tidak terlalu banyak”,
“Terima kasih Dhanti”.
Pelajaran hari ini pun berakhir.
Aku pulang kuliah dengan membawa buku yang sangat banyak. Ku gowes pelan-pelan
sepedaku agar buku yang kubawa tidak jatuh berhamburan di jalan. Setibanya di
rumah aku menyimpan bukuku di rak buku yang sudah kubuat sebelumnya dengan
Kakek. Kakek memang sangat baik. Dia sudah menganggapku seperti anaknya
sendiri. Dan aku menceritakan semua kejadianku di tempat ku kuliah tadi. Kakek
tersenyum saja dan berkata,
“Kamu suka dengan perempuan itu
Kir?”,
“Mungkin iya Kek, saat dia
menyapaku dan ku tatap wajahnya. Ingin ambruk rasanya tubuhku ini Kek”,
“Hahaha…. Bisa saja kamu Kir.
Saran dari Kakek ya hanya jika kamu memang beneran suka dengan dia, janganlah
kamu menyimpan perasaan kamu ini terlalu lama. Nanti keburu diambil loh sama
orang lain”,
“Iya Kek, aku juga berfikir
seperti itu. Hanya aku bingung harus memulai darimana. Aku juga takut Kek dia
tidak bisa menerima kekuranganku ini. Apakah dia akan mau memiliki kekasih
seorang yang bertubuh kayu seperti aku ini?”, ucapku dengan lemas.
“Kakek tidak bisa mebantumu Kir,
hanya kamu yang tahu bagaimana caranya. Kamu harus yakin dengan apa yang kamu
miliki saat ini. Mungkin itu bisa menjadi kelebihanmu.”.
Bertahun-tahun setelah kejadian
yang ku alami. Aku akan di hadapkan dengan wisuda. Dan hingga saat ini pun aku
belum mengungkapkan perasaanku kepada Dhanti. Sekarang Dhanti sudah memiliki
kekasih. Aku cukup menyesal karena bukan akulah kekasih Dhanti saat ini. Tapi
inilah resikoku akibat aku terlalu lama menyimpan perasaan ini. Mungkin karena
perasaan takut inilah yang menghalangiku untuk mengutarakan [erasaanku kepada
Dhanti. Aku takut jika Dhanti tahu kalau aku bertubuh kayu seperti ini, dia
akan menjauhiku.
Acara wisuda pun dimulai. Aku
datang dengan Kakek Zapato. Salah satu alas an aku bersemangat hari ini selain
aku akan menjadi sarjana adalah Dhanti. Aku selalu mencari tempat duduk di
dekat Dhanti, agar aku selalu merasa nyaman berada di dekatnya. Dia duduk
bersebelahan dengan kedua orang tuanya. Dan terkadang aku melihat dia
berbincang mesra dengan kekasihnya. Dhanti tersenyum saat dia melihatku. Aku
pun tersenyum balik kepadanya. Tidak tahu apa maksud dari senyuman itu, atau
mungkin perasaanku saja yang berlebihan.
Setelah acara wisuda selesai. Aku
berniat untuk mengutarakan perasaanku selama ini. Aku tidak berpikir panjang,
aku tahu dia memiliki seorang kekasih tapi niatku sudah bulat. Ku tarik nafasku
dan aku akan mengatakan semua tentang perasaanku kepadanya. Ternyata dia sedang
duduk sendiri di kursi taman di bawah pohon yang rindang. Segera aku menemuinya
dan duduk di sampingnya.
“Boleh aku duduk disini?”,
“Tentu saja boleh dong Pin”,
“Mengapa kamu duduk sendirian
disini?”,
“Aku hanya ingin sendiri saja Pin,
aku merasa bingung. Setelah selesai kuliah ini, aku harus memulai karirku untuk
bekerja bagimana. Aku takut jika aku tidak diterima sebagai pegawai
dimana-mana. Orang tuaku di aula, sedang berbincang dengan teman lamanya”,
“Kamu harus optimis dong. Kamu
harus percaya sama apa yang kamu miliki saat ini. Masih ada orang yang tidak
seberuntung kamu bisa wisuda hari ini. Nanti akan aku bantu ya mencarikanmu
pekerjaan”,
“Terima kasih banget ya Pin, emang
kamu tuh paling pengertian. Oh iya, ada apa kamu kemari Pin? Ada perlu
denganku?”,
“Kamu ini selalu saja memujiku
berlebihan. Tapi, sama-sama ya. Engga kok, Dhan. Aku hanya ingin mencari udara
segar di sekitar sini, eh tidak sengaja aku melihatmu sendiri duduk disini ya
sudah aku menemuimu saja”,
“Engga kok, aku serius Pin. Aku
kira kamu ada keperluan lain menemuiku. Aku sudah di SMS orang tuaku nih untuk
segera pulang ke rumah. Aku pulang duluan ya Pin”,
“Tunggu sebentar Dhan!”, kupegang
tangannya saat dia hendak pergi.
“Ada apa Pin?”,
“Aku saying kamu Dhan. Aku cinta
kamu. Mungkin aku terlalu lama untuk mengungkapkan ini semua. Aku juga tahu
jika kamu juga sudah ada yang memiliki. Tetapi setidaknya hatiku sudah tenang,
sudah bisa mengungkapkan ini semua. Aku tidak berharap lebih kok. Kamu tahu
perasaanklu saja itu sudah cukup”,
“Pino, ini kata-kata yang aku
tunggu setelah pertemuan pertama kita di dekat ruangan administrasi. Aku selalu
nyaman berada di dekatmu. Aku kira kamu tidak ada perasaan denganku, maka dari
itu aku menerima cintanya Doni. Mungkin kamu belum tahu, aku sudah tidak
bersama Doni. Itu sudah cukup lama. Aku juga sayang kamu Pin”,
“Ya ampun Dhanti. Aku tidak
menyangka aku dapat mendengar semua ini dari mulut kamu. Sungguh aku senang
sekali”, ucapku dengan tegangnya seperti ada yang mengguyur tubuhku ini.
“Lalu? Apakah hanya mengutarakan
saja? Nanti keburu aku diambil orang loh”,
“Eh iya, kamu mau tidak menjadi
kekasihku Ramadhanti?”, ucapku dengan diiringi oleh gugurnya daun dan angin
yang membuat suasana semakin romantic.
“Aku mau kok Pinokirno”, ucapnya
malu.
Kami pun berpelukkan. Kami
melanjutkan hubungan kami ini ke jenjang yang lebih serius. Sekarang aku resmi
menjadi suami dan sekaligus sebagai bapak dari 2 anak kami. Kejujuran itu
penting. Kejujuran dapat mengantarkan kita ke keberuntungan yang tidak kita
duga. Kita harus berani jujur dengan apa yang kita hadapai. Sekarang hidupku
bahagia selamanya.